ASSALAMU 'ALAIKUM

Mulailah dengan bismillahi rohmani rohim

Rabu, 10 September 2008

Dari Putih (Akan) Kembali Putih

1. Putih – Merah
Warna kebangsaan. Yang selalu berkibar di langit Indonesia. Dan selalu berkobar di tengah lapangan saat jam ”keluar maen” tiba.
Ya... seragam pertama yang dipakai untuk mengenal dunia. Berkeliling bumi Allah ini lewat berbagai buku. Yang huruf beserta rangkaiannya kita pelajari dari seorang yang bernama guru. Kita yang dulunya buta, kini bisa membaca, bisa menulis dan bisa berhitung.

Indah saat ku lihat seorang anak kecil, masih dengan seragamnya, mengamati tulisan yang terpampang di spanduk kampanye. Bukan untuk melihat janji-janji sang calon pemimpin, tapi hanya untuk mengeja huruf per huruf yang tertulis disitu. C... O... B... L... O... S... N... O... 2... bla...bla...bla.... Setelah puas dieja, dengan polos ia meninggalkannya tanpa peduli apa maksud dari spanduk yang terpajang disitu.

2. Putih – Biru
Biru atau ’blue’ yang agak bernuansa negatif ini, maaf kalau dihubungkan dengan.... ????
Pubertas. Tanda biologis kedewasaan telah datang di usia ini. Segala ciri anak-anak seharusnya sudah ditinggalkan. Sabetan rotan mestinya tak lagi menghiasi kaki-kaki ini jika meninggalkan ibadah wajibNya.
Dosa-dosa sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab sendiri. Pelajaran ruhiyah putih-biru ini sepantasnya menambah ilmu di diri kita.

Ingatan ku saat dahulu tentang sekolah dengan celana pendek yang tak mampu menutup aurat ini. Ada seorang teman yang bela-belain bawa sarung dari rumah demi untuk sholat Dzuhur di mushola sekolah, sementara saat itu aku berfikir nanti saja kalau sudah sampai di rumah baru sholat.

3. Putih – Abu-abu
Masa yang tiba bersamaan dengan abu-abu atau milenium-nya zaman. Dunia terbuka didepan mata. Tak cukup dengan kitab tua yang hanya berisi tulisan, tetapi ada layar internet penuh warna dunia.
Ada teman yang bisa saja mengajak kita ke gemerlapnya dunia. Ada kebebasan yang mengizinkan kita pergi dan pulang malam. Diantara itu semua, kita masih harus belajar menentukan ke mana kaki kita ini selanjutnya melangkah... terus belajar, mencari kerja, atau segera berkeluarga. Dengan pijakan iman yang kuat pada kaki yang lain, tentunya.

Satu dari 40 teman di kelasku terperosok ke dalam jurang nista. Pernikahan dini pun akhirnya harus ia dijalani. Padahal sang wanita adalah seorang murid yang pintar, berada di deretan 3 teratas bersaing denganku. Namun nafsu berkata lain. Kepintaran otak yang tidak diimbangi keluhuran iman akan membawa kesesatan. Ia sekarang sibuk mengurusi dua orang anaknya. Dan entah kemana cita-citanya melambung pergi.

4. Gak ada putih-putihnya (seragam putih maksudnya)
Ya... warna yang agaknya membuat monoton 12 tahun hidup kita, akhirnya terlepaskan. Sekarang ada merah yang dipakai saat ceria, berguna untuk membiaskan kebosanan materi sang dosen.
Ada biru yang tidak dipakai di kala kuliah dosen yang hobi nanya si pemakai warna biru. Sah-sah saja kuliah memakai kaos jika yang duduk di depan mengenakan hal yang sama. Atau biar terlihat keren di kampus dapat dibalut dengan rompi, sweter atau jaket. Asal jangan berlebihan saja sampai dibilang metro....

Di kelasku pun begitu, ada banyak warna kehidupan. Ada putra daerah Baturaja, pelajar teladan Bangka. Dari metropolisnya Jakarta sampai minimalisnya Tempirai. Dari Bang Rhoma sampai Mas Ariel. Semuanya mewarnai kampus ini. Dan keindahan yang pasti terlihat yaitu kepala yang hitam persis terpisah dengan warna-warni jilbab.
Jadi kalau di dalam kelas semua mahasiswa duduk rapi dan dilihat dari belakang kelas, akan tampak gambaran hitam di sebelah kanan dan corakan berwarna dengan sedikit titik-titik hitam di sebelah kiri kelas. Dan titik-titik itupun perlahan memudar menjadi sama dengan sekelilingnya.

5. Kembali Putih
Dan sekarang kita sudah melewati berbagai warna di saat kuliah itu. Hasilnya insyaAllah kembali putih. Kita bukan coklat yang tegap di sisi buasnya jalan raya. Atau biru yang tinggi menjulang di luasnya angkasa. Atau beragam warna yang tampil di megahnya panggung adikarya.
Kita ini putih yang senyumannya saja dapat menghilangkan demam. Tapi putih kita bukannya putih safari berlapis jas hitam yang katanya berkoar-koar menyuarakan nasib rakyat. Atau putih koko yang seharusnya berkoar-koar menyuarakan kebenaran.

Ku ulangi lagi kita adalah putih, yang sentuhan tangannya saja dapat menutup luka yang memerah. Tapi putih itu pakaian luar kita. Masih mungkin ada hitam dibalik jas putih itu. Masih banyak warna yang akan tersembunyi didalamnya.

Teringat akan firman Allah swt
Shibghah/warna Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (Q.S. Al Baqarah: 138)

Tapi siapa bilang putih ini tak bisa seperti coklat yang biasa melindungi dan mengayomi. Kata siapa juga putih ini tidak dapat seperti putih yang lain yang juga mampu menyuarakan kebenaran dari Allah swt.

Kembali ke judul tulisan ini. Dari Putih (Akan) Kembali Putih.
Secara dzahir putih yang kita kenakan dari kecil ini akan terus membimbing kita menempuh pendidikan. Belajar yang tak hanya dari dunia formal, melainkan dari dunia Allah. Pendidikan yang mau tidak mau harus kita jalani dari buaian sampai liang lahat. Dan harus kita kejar sampai ke negeri Cow Yun Fat.
Secara bathin, putih yang menandakan bersih dari segala dosa laksana kita kecil dahulu akan kembali suci seusai ibadah Ramadhan ini. Ibadah yang tak hanya menghapuskan dosa kita sekarang tapi juga dosa kita dahulu. Insyaallah jika dengan sungguh-sungguh kita melaksanakannya.

Perlu diingat hukum fisika yang kita pelajari dahulu bahwa: putih itu terbentuk dari kumpulan berbagai macam warna.
Dan pastikan warna Allah selalu hadir didalamnya.

Tidak ada komentar: